APBN-P 2012 REPUBLIK INDONESIA

JAKARTA: Badan Anggaran DPR-RI mempertanyakan alokasi belanja tahun lalu yang tidak terserap sebesar Rp12,48 triliun dalam pos penerimaan negara bukan pajak (PNBP) lainnya yang targetnya disepakati Rp72,27 triliun dalam RAPBNP 2012.
Andi Rahmat, anggota Banggara dari Fraksi PKS, mengungkapkan tidak seharusnya anggaran belanja pemerintah yang tidak terserap pada tahun lalu sebesar Rp12,48 triliun dimasukan dalam akuntansi target PNBP lainnya. Pasalnya, anggaran tersebut merupakan belanja bukan penerimaan.
"Ini kan nature-nya belanja, K/L ga bisa menyerapnya mengapa dimasukan dalam pos PNBP yang jelas-jelas mencatat penerimaan. Mengapa tidak masuk ke Silpa saja, apa ini dasar hukumnya" ujarnya dalam rapat Panja A Banggar DPR-RI, Senin malam (19/03).
Menanggapi hal tersebut, Direktur PNBP Ditjen Anggaran (DJA) Kementerian keuangan Askolani mengatakan dana Rp12,48 triliun merupakan belanja kementerian/ lembaga yang tidak terserap sehingga dikembalikan ke kas negara.
"Anggaran belanja ini sudah ada di tangan K/L, tapi sampai batas waktu yang ditentukan kementerian keuangan penggunannya tidak bisa dipertanggungjawabkan, jadi dikembalikan ke kas negara," ujar Askolani.
Menurut Askolani, dalam laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) yang diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), secara akuntansi anggaran belanja tersebut masuk di pos PNBP lainnya.
"Ini diaudit BPK dan tidak masalah. Apakah nanti diubah untuk masuk akun pembiayaan atau tetap PNBP, silakan dibicarakan. Tapi kalau memang mau diubah sebaiknya dalam APBN 2013, jadi bisa apple to apple," katanya.
Askolani menambahkan, pemerintah tidak merencanakan uang ini kembali ke kas negara, tetapi dana Rp12,48 triliun ini terbentuk karena K/L tidak bisa menyerap.
"Ini memang pendapatan yang tidak terserap, nanti nett-nya menyumbang Silpa," ungkapnya.
Dalam rapat tersebut, pemerintah dan Banggar DPR menyepakati target penerimaan PNBP lainnya sebesar Rp72,27 triliun atau naik Rp18,78 triliun dari target APBN 2012 yang dipatok Rp53,49 triliun.
Berdasarkan komponennya, PNBP lainnya berasal dari domestic market obligation (DMO) minyak yang dipatok Rp11,74 triliun, treasury single account Rp5,17 triliun, belanja tahun lalu Rp12,48 triliun, dan lainnya Rp42,88 triliun.
PNBP lainnya ini termasuk penerimaan negara dari K/L. Adapun 3 K/L yang ditargetkan menyumbang PNBP terbesar, yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika Rp11,56 triliun, Kementerian Pendidikan & Kebudayaan Rp11,9 triliun, dan Kementerian Kesehatan Rp5,2 triliun.
PNBP dari Badan Layanan Umum juga disepakati Rp20,41 triliun atau naik Rp1,18 triliun dari target APBN 2012 sebesar Rp19,23 triliun. Target penerimaan BLU ini berasal dari sektor jasa layanan pendidikan Rp9,54 triliun, otoritas BP Badan Rp0,59 triliun, dan lainnya Rp10,28 triliun.
Terkait penerimaan negara dalam RAPBNP 2012, pemerintah dan DPR juga sudah menyepakati target penerimaan dari deviden BUMN sebesar Rp30,77 triliun.
PNBP nonmigas Rp3,57 triliun belum termasuk PNBP Pertambangan Umum yang diusulkan Rp15,27 triliun, dan perpajakan Rp948,1 triliun belum termasuk Pajak Penghasilan Minyak dan Gas (PPh Migas) yang diusulkan Rp64,59 triliun.
"Penerimaan dari PPh dan PNBP migas akan dibahas bersamaan, karena saling berhubungan, kita jadwalkan besok (Selasa,20/03)," ujar Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Bambang P.S. Brodjonegoro. (04/Bsi)
Pemerintah mempertimbangkan memangkas belanja kementerian/lembaga atau memperlebar defisit anggaran lebih besar dari rencana di RAPBNP 2012 guna menutup subsidi listrik yang meningkat.
Menteri Keuangan Agus D. W. Martowardojo menjelaskan pemerintah mengusulkan kenaikan subsidi listrik Rp48,09 triliun menjadi Rp93,05 triliun di RAPBNP 2012 dengan asumsi tarif tenaga listrik (TTL) naik rata-rata 10%.
Namun, dengan pembatalan kenaikan TTL maka ada risiko tambahan subsidi sekitar Rp5 triliun sehingga idealnya alokasi anggaran subsidi listrik ditingkatkan menjadi Rp98 triliun.
“Kalau dari (risiko) Rp98 triliun (DPR) hanya mengijinkan subsidi listrik Rp64,9 triliun atau Rp65 triliun, tentu selisihnya kami perlu respon," ujarnya di Jakarta, Jumat 16 Maret 212.
"Oleh karena itu, saya ingin ada konsolidasi di pemerintah, apakah ada alternatif. Kalau tidak ada solusinya tentu kami akan kembali ke DPR."
Menurutnya, selisih antara subsidi listrik yang disetujui DPR dengan yang diajukan.pemerintah sekitar Rp33 triliun merupakan risiko fiskal yang harus diantisipasi.
Menambah alokasi dana cadangan risiko fiskal sebesar itu merupakan solusi ideal, tetapi kemungkinan sulit tanpa restu DPR.
“Untuk itu kami perlu mencari solusi dengan alternatif-alternatif memotong lebih jauh belanja pemerintah, menambah defisit atau optimalisasi penerimaan negara. Jadi itu perlu dipelajari oleh
pemerintah,” jelasnya.
Dalam Nota Keuangan & RAPBNP 2012, pemerintah merencanakan kenaikan TTL bertahap sebesar 3% per kuartal mulai kuartal II.
Dengan mempertimbangkan itu, dana cadangan risiko kenaikan TTL sebesar Rp9,79 triliun di APBN 2012 ditiadakan.
Namun, subsidi listrik diusulkan ditambah dari Rp44,96 triliun jadi Rp93,05 triliun. Selain itu, efisiensi dilakukan dengan memangkas belanja rutin K/L sebesar Rp18,9 triliun guna menimalkan pelebaran defisit.
Pada prinsipnya, lanjut Agus, pemerintah ingin menjaga agar defisit anggaran negara pada tahun ini tidak lebih dari 2,23%.
Namun, dengan keputusan rapat Komisi VII DPR yang melarang kenaikan TTL ada risiko pelebaran defisit yang sumber pembiayaannya harus mulai dipikirkan.
“Itu akan pinjam lebih besar ke pasar dan situasi pada saat sekarang juga tidak mudah. Jadi yang saya ingin sampaikan pembahasan kemarin malam perlu kami kaji dulu,” tuturnya. (Bsi)
DPR menilai pembengkakan subsidi energi lebih disebabkan kelalaian pemerintah mengelola sejumlah proyek pembangkit energi, bukan hanya karena hambatan eksternal perekonomian global.
Anggota Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha mengatakan pemerintah tidak optimal mengelola sejumlah proyek pembangkit listrik.
Salah satunya, lanjut dia, terjadi keterlambatan proyek pembangkit listrik 10.000 megawatt dan floating storage and regasification unit (FSRU).
“Proyek 10.000 MW itu tidak berjalan sesuai harapan, padahal sudah mengakibatkan pemborosan Rp27 triliun, FSRU juga hampir Rp8 triliun pemborosannya,” kata Satya di Jakarta, Jumat 16 maret 2012.
Jika proyek selesai, dia menuturkan pemerintah seharusnya dapat melakukan penghematan subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk keperluan pembangkit listrik.
Kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan perlambatan ekonomi dunia, menurut dia, bukan faktor utama pembengkakan subsidi.
Melihat tidak optimalnya kinerja pemerintah, lanjut dia, DPR hanya menyetujui pemberian tambahan subsidi untuk tarif tenaga listrik (TTL) Rp24 triliun, lebih rendah dari usulan semulai Rp53 triliun.
“Komisi VII DPR memutuskan mengurangi subsidi jadi cuma Rp24 triliun dari usulan Rp53triliun. Jadi totalnya [dengan subsidi sesuai APBN 2012] Rp93,05 triliun,” ujarnya.
Berdasarkan nota keuangan dalam RAPBNP 2012, pemerintah mengusulkan kenaikan belanja subsidi listrik sebesar Rp48,09 triliun atau membengkak hingga 107% dari Rp44,96 triliun menjadi Rp93,05 triliun.
Satya memperkirakan pembahasan RAPBNP 2012 molor lebih dari 1 April 2012. Dengan begitu, pemerintah berpotensi melanggar UU APBN 2012 yang menyatakan pembatasan BBM harus dilaksanakan 1 April 2012.
Selain subsidi, menurut Satya, program penghematan anggaran kementerian/lembaga (K/L) juga akan menimbulkan perdebatan alot dalam pembahasan RAPBNP 2012.
“Nanti penghematan K/L jadi pembahasan panjang, seperti pemotongan program sesuai tidak dengan realitas, tidak bisa sembarangan,” tuturnya.(01/Bsi)
Pemerintah dan Badan Anggaran DPR-RI menyepakati target penerimaan negara dari sektor minyak dan gas dalam RAPBNP 2012 sebesar Rp278,02 triliun dengan besaran cost recovery US$15,1 miliar.
Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro memaparkan pajak penghasilan (PPh) migas dipatok sebesar Rp67,91 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) SDA minyak Rp150,84 triliun, PNBP gas Rp47,46 triliun, dan PNBP lainnya yang merupakan bagian dari domestik market obligation (DMO) sebesar Rp11,79 triliun.
"Dalam APBN-P 2012, cost recovery US$15,1 miliar dan total penerimaan negara dari migas Rp278.02 triliun," kata Bambang dalam rapat Panja A Banggar DPR, Selasa malam (20/03).
Total penerimaan migas ini naik Rp12,08 triliun dari RAPBN-P 2012 yang diajukan pemerintah Rp265,94 triliun. Di sisi lain, target penerimaan migas sebesar Rp278,02 triliun cenderung stagnan jika dibandingkan dengan realisasi 2011 yang mencapai Rp278,27 triliun.
Sementara itu, asumsi cost recovery sebesar US$15,1 miliar diketok Banggar dengan catatan pemerintah harus melakukan efisiensi biaya produksi, mengupayakan renegosiasi harga gas, dan menjaga realisasi proyek eksplorasi lumbung migas baru.
"Cost recovery ini berkaitan dengan proyek-proyek baru, eksplorasi, dan realisasi investasi. Jadi akan berpengaruh jangka panjang," ujar Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Evita Legowo.
Senada dengan yang diungkapkan Evita, Kepala BP Migas R. Priyono juga mengungkapkan dengan nilai cost recovery US$15,1 miliar, pihaknya akan bekerja keras guna meningkatkan penerimaan.
"Kami lebih baik cost recovery tetap US$15,1 miliar dan kerja keras untuk meningkatkan revenue agar rasio cost terhadap revenue-nya bisa turun," ungkap Priyono.
Dalam rapat tersebut, Banggar DPR memberikan catatan bahwa rasio cost recovery terhadap revenue bisa dipertahankan di tingkat 25%, bahkan diharapkan dapat terus diturunkan.(api)

Referensi : http://www.bisnis.com//

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "APBN-P 2012 REPUBLIK INDONESIA"